Para pebalap di etape keempat. (Foto: Joanito de Saojoao/Tour de Flores 2017) |
Sembari mengisap rokoknya dalam-dalam, pemuda berkumis itu memainkan ponselnya dengan khusyuk. Pelan-pelan, saya dekati dia. Pandangannya sama sekali belum beranjak dari ponsel ketika itu.
Saya pun segera berjongkok dan mengulurkan tangan. Saya ajak dia berkenalan, barulah dia mendongak dan membalas uluran tangan saya.
Nama pemuda itu Nathan. Ketika saya tanya berapa usianya, dia menjawab, "Saya lahir tahun '91, berarti..."
"26 tahun, kaka?" sahut saya.
"Ya, 26 tahun," balasnya.
Nathan bukanlah peserta Tour de Flores 2017 kali ini. Namun, tanpa jerih payahnya, kejuaraan balap sepeda berusia dua tahun ini takkan bisa berjalan mulus.
Di gelaran kali ini, dia bertugas sebagai seorang marshal. Ketika itu dia sudah mengenakan rompi kuning yang menjadi penanda. Sengaja dibuat mencolok memang, agar mudah dilihat oleh semua rombongan yang berada di jalan.
Dalam balap sepeda yang digelar di jalanan seperti Tour de Flores ini, pelaksanaannya memang tidak sembarangan. Para pebalap harus dibuat seaman mungkin, khususnya dari gangguan kendaraan-kendaraan yang melintas dan jalur yang tidak bersahabat.
Untuk itulah, pengamanan dibuat berlapis. Dalam race manual (buku panduan balapan) yang saya terima, ada delapan jenis kendaraan yang harus mendahului para pebalap untuk membuka jalan.
Di paling depan, ada konvoi kendaraan milik polisi yang terdiri dari dua mobil dan sekelompok sepeda motor. Kemudian, di belakangnya menyusul mobil radio komunikasi, mobil media, mobil untuk layanan servis sepeda, satu mobil polisi, mobil race director, mobil radio komunikasi kedua, sekelompok sepeda motor radio komunikasi, dan baru kemudian disusul peleton pebalap.
Dalam balap sepeda, peleton berarti kelompok besar. Peleton ini kerap sekali terlihat di awal-awal balapan dan para pebalap unggulan biasanya langsung berusaha memisahkan diri dari peleton sedini mungkin, seperti yang dilakukan Edgar Nieto dan Daniel Whitehouse pada etape keempat hari ini, Senin (17/7/2017).
Lalu, di belakang peleton pebalap, mereka akan dilindungi dari belakang oleh sepeda motor radio komunikasi, mobil chief commisaire, mobil dokter, mobil-mobil tim yang bertugas untuk menyuplai kebutuhan pebalap di tengah balapan, mobil servis, ambulans, mobil penyapu, dan ditutup lagi oleh satu unit mobil polisi.
Lalu, di manakah para marshal seperti Nathan berada? Simpel saja: mereka ada di antara keramaian itu. Mereka ada di depan, tengah, dan belakang. Meski mereka bahkan tidak tertera di panduan balap, percayalah, peran mereka begitu krusial.
Ada 34 marshal yang betugas di sepanjang Tour de Flores. Pemimpin mereka adalah seorang pria bertubuh besar bernama Petrus Guru. Di tangannya, senantiasa menempel sebuah walkie talkie hitam-kecil yang memang tidak bisa dia lepaskan. Di situlah hidup dan matinya.
Sebelum saya berbincang lebih jauh dengan Nathan, saya harus meminta izin terlebih dahulu kepada Petrus. Olehnya, saya ditanyai apa kepentingan dan dari media mana saya berasal. Standar saja sebenarnya dan setelah menunjukkan kartu pers, dia pun mempersilakan saya mewawancarai anak buahnya.
"Dia itu yang melatih kami jadi marshal," kata Nathan. "Kami dikumpulkan, lalu dites, bisa nggak? Waktu itu, dari Mbay ke Maumere, terus ke Larantuka, terus balik lagi. Ternyata kami bisa."
Ya, ini memang pengalaman pertama bagi Nathan dan semua marshal yang terlibat di sini. Dari 34 orang itu, 30 di antaranya berasal dari Nagekeo dan empat lainnya merupakan penduduk Maumere. Tahun lalu, pada gelaran perdana Tour de Flores, marshal yang digunakan berasal dari luar Flores. Maklum saja, namanya juga gelaran perdana.
Namun, sejauh ini kinerja para marshal ini terbilang cukup bagus. Semua tugas berhasil mereka laksanakan dan kalaupun ada kendala, itu lebih disebabkan oleh sulitnya medan yang harus mereka lalui.
"Seperti yang waktu kita mau masuk Nagekeo itu, jalan ‘kan jelek sekali itu. Berdebu pula. Padahal, kita harus terus jaga kecepatan. Salah-salah, nanti kita tabrak pebalap atau pebalap tabrak kita," tutur Nathan.
Arak-arakan pebalap melewati penonton. (Foto: Nyoman Budhiana/ANTARA) |
"Kadang-kadang takut juga," ujar Nathan tiba-tiba.
"Kenapa, kaka?" tanya saya.
"Ini motor ada yang pinjam. Nggak semuanya punya kami. Terus banyak juga yang usianya masih belasan," jelasnya.
Ya, kebanyakan dari para marshal ini memang masih berusia muda. Selepas usia sekolah, kebanyakan langsung bekerja dan menjadi marshal seperti sekarang ini adalah pengalaman yang benar-benar baru dan berbeda bagi mereka.
"Saya ingin jelajahi seluruh Flores ini," kata Nathan sembari menyalakan batang rokok baru.
"Masa orang Flores belum pernah ke Labuan Bajo.." tambahnya sembari sedikit terkekeh. Francy pun menimpali dengan kekehan serupa.
"Ini ‘kan cara kami juga untuk berbuat sesuatu untuk Flores. Kalau ada acara-acara seperti ini lagi, ya, lebih baik pakai kami saja yang sudah ada," harap Nathan.
Sebelum gelaran Tour de Flores berakhir, masih ada dua etape lagi yang harus dilalui. Etape keempat akan berlangsung dari Borong menuju Ruteng dan etape terakhir nanti dari Ruteng ke Labuan Bajo. Tidak lama lagi.
Walau begitu, bukan berarti tugas mereka serta merta akan menjadi lebih mudah. Sama sekali tidak. Jika nanti semuanya berjalan lancar sampai akhir, kemenangan takkan hanya jadi milik Nathan dan Francy, tetapi juga akan jadi kemenangan untuk semua rakyat Flores.
Post a Comment